profile Forum entries credits +follow Dashboard








طهارة
Wednesday 5 December 2012@20:06

URGENSI THAHARAH


Hampir dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan pembahasan thaharah sebagai sesuatu yang dibahas di awal BAB. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Selain dapat menjaga ummatnya dari berbagai penyakit, thaharah dalam Islam juga berperan sebagai syarat dari sahnya sebuah peribadahan. Seseorang tidak dapat beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam menegakkan tiang-tiang diin ini, Rasulullah saw. bersabda tentang thaharah, “Ath-Thahuur (suci) itu sebagian daripada Iman.” 

Dalam al-Quran, Allah swt. menegaskan betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah swt. berfirman:


“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah, 2: 222)


“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir, 74: 4)


“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 9-10)


Allah juga berfirman tentang kewajiban berwudhu untuk membersihkan hadats kecil serta mandi untuk membersihkan hadats besar. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maa’idah, 5: 6)


Artinya, tidak akan diterima setiap ibadah yang kita lakukan jika tidak dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan bersih. Begitulah Islam mengajarkan sebuah sikap yang sangat menjaga kebersihan dan kesucian. Rasulullah, dalam sabdanya yang lain memberikan gambaran bahwa Allah swt. hanya menyukai yang baik-baik. “Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menerima sesuatu kecuali yang thayyib.” Sebagaimana sabdanya juga “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”


Kebersihan dan kesucian adalah hal yang thayyib yang akan menjadi syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi setiap mu’min untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Jika seorang mu’min tidak peduli terhadap kondisi lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana seorang yang sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari rukun shalat. Sudah tentu shalatnya tidak diterima. Jangan sampai, keimanan kita tidak diterima oleh Allah swt. dikarenakan kita lalai dalam menjaga kebersihan dan kesucian, baik diri maupun lingkungan kita.



AIR


Air merupakan alat penyuci yang utama dalam thaharah. Syari’at telah menetapkan bahwa selama masih ada air, maka hendaklah kita tidak menggunakan alat yang lain. Karenanya, kita perlu mengetahui jenis air apa saja yang boleh digunakan sebagai penyuci.

Macam-Macam Air
H. Sulaiman Ar Rasyid menyebutkan dalam Fiqh Islam bahwa air, dalam pandangan syari’at terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

1. Air yang suci dan menyucikan
Air jenis ini halal untuk diminum serta dapat digunakan untuk bersuci membersihkan hadats dan najis. Air jenis ini adalah seluruh air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang masih tetap keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang mencari (salju yang mencari), air embun, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang keluar dari mata air. Firman Allah swt: 
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengannya dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaithan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al-Anfaal, 8: 11)


Sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurayrah. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. tentang laut. “Air laut itu suci dan menyucikan. Bangkainya halal dimakan.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah, dan Ibn Abi Syaybah, di Shahih-kan oleh Ibn Khuzaymah dan Turmudzi).


Dengan demikian, kita bisa menggunakan jenis air yang sebagaimana disebutkan sebagai penyuci ataupun air minum. Namun, khusus untuk air yang akan dikonsumsi, hendaknya dilakukan uji coba terlebih dahulu untuk mengukur kadar thayyiban-nya. Yaitu ujicoba persentase kandungan mikroba serta mineral dan logam di dalamnya.


2. Air suci, tapi tidak menyucikan
Air dapat berubah hukumnya menjadi tidak menyucikan. Perubahan itu meliputi perubahan sifatnya yang meliputi warna, rasa, dan bau. Jika salah satunya berubah, maka dapat dipastikan bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, walaupun bisa saja kandungan secara dzati masih suci dan halal dikonsumsi. Termasuk jenis air seperti ini adalah:


a) Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan suatu benda suci seperti air kopi, teh, dan sejenisnya.


b) Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu, air kelapa, dan sejenisnya.



c) Air yang kurang dari dua qullah. Walaupun demikian, jika kemutlakannya masih terpelihara, yaitu terjaga warna, rasa, dan baunya, maka menurut Ust. Sayyid Sabiq masih tetap menyucikan. Begitu pun untuk jenis air yang ketiga. ‘Ulama yang mengategorikan air dua qullah sebagai air suci yang tidak menyucikan berpegang pada riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar. Beliau berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila air itu dua qullah, maka ia tidak akan mengandung kotoran”. Dalam riwayat yang lain disebutkan “tidak akan menjadi najis”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah, dan Ibn Abi Syaybah, di shahih-kan oleh Ibn Khuzaymah dan Turmudzi).

Mereka menafsirkan bahwa air yang kurang dari dua qullah tidak memenuhi syarat yang disebut dalam hadits tersebut, sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan air dua qullah..? Menurut madzhab Syafi’i, yang dimaksudkan air dua qullah adalah air yang memenuhi satu tempat yang lebar, panjang, dan dalamnya masing-masing satu seperempat hasta (+/- 60 cm).


Sedangkan fuqaha yang lain berpegang pada pendapat bahwa selama air tersebut belum berubah warna, rasa, atau baunya, maka ia masih boleh digunakan sebagai penyuci. Hal ini dikarenakan bahwa tidak ada satu hadits pun yang menetapkan ukuran dua qullah dengan satu seperempat hasta atau lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ibn Hajjar al-Atsqalani serta beberapa ‘ulama lainnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Bayhaqi dari Abi Umamah al-Bahili. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan warnanya” Bahkan, menurut Ibn Hajjar al-Atsqalani dalam Bulughul Maram, hadits dua qullah di atas ternyata dilemahkan oleh banyak Imam.



Namun, jikapun kita berpegang pada hadits ini, maka yang paling kuat adalah menetapkan makna dua qullah sebagai jumlah air tidak mengalir yang masih belum berubah warna, rasa, dan baunya. Apabila air tersebut telah berubah warna, rasa, dan baunya, maka hendaklah kita tidak menggunakannya sebagai penyuci walaupun jumlahnya lebih dari ukuran satu seperempat hasta. Sebaliknya, jika air tersebut masih belum berubah, baik warna, rasa, serta baunya, dapat kita gunakan sebagai penyuci walaupun jumlahnya tidak memenuhi satu seperempat hasta. Karena, sebagai penegas, bahwa tidak ada satu hadits pun yang menetapkan ukuran dua qullah.


Lalu bagaimana pendapat sebagian ‘ulama tentang tidak bolehnya kita menggunakan air telah terpakai atau digunakan untuk bersuci. Mereka berpendapat bahwa air tersebut adalah air musta’mal yang tidak dapat digunakan lagi untuk bersuci. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah sebagaimana penjelasan air dua qullah di atas. Selama masih belum berubah warna, rasa, dan baunya, maka dapat digunakan untuk bersuci. Artinya, air musta’mal tetap suci lagi menyucikan.



Hal ini juga ditegaskan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. pernah mandi dengan (air) sisa (mandi) Maymunah. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. biasa berwudhu dalam sebuah bejana dengan mencelupkan tangannya ke dalam bejana, sedangkan bejana tersebut juga dipakai wudhu oleh keluarganya dengan cara yang sama dengan yang beliau saw. lakukan. Wallahu a’lam.


3. Air yang bernajis
Air bernajis yaitu air yang telah berubah, baik warna, rasa, dan baunya disebabkan oleh adanya najis yang mengenainya. Hukum air ini tidak bisa digunakan, baik sebagai penyuci ataupun untuk dikonsumsi. Baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, berdasarkan kesepakatan kita pada pembahasan dua qullah di atas. Namun, jika perubahannya bukan karena sesuatu yang najis, maka hukum air tersebut adalah tetap suci tapi tidak menyucikan.
Perubahan warna, rasa, dan bau yang disebabkan oleh benda najis tidak akan membuat air itu menjadi najis, apabila air tersebut adalah air mengalir. Hal ini berdasar atas hadits, “Air laut itu suci lagi menyucikan”. Wallahu a’lam.


4. Air Sisa Minum (asy-syu’ar)
Air sisa minuman yaitu air yang masih terdapat dalam wadah/ bejana setelah diminum. Hukum dari sisa air tersebut akan sangat bergantung kepada siapa yang meminumnya. Air sisa minum manusia, baik mu’min maupun kafir, dalam keadaan junub, haid, atau nifas, maka hukumnya tetap suci dan menyucikan selama kemutlakannya terjaga. Begitu pun dengan sisa binatang yang halal dagingnya. Abu Bakr Ibn Mundzir mengatakan, “Para ‘ulama berijma’ bahwa sisa minuman binatang yang halal dagingnya boleh diminum dan dipakai untuk berwudhu.”


Sisa minuman bagal, keledai, dan binatang buas juga suci dan menyucikan, berdasarkan hadits dari Jabir ra. bahwa Nabi saw. pernah ditanya tentang bolehkah berwudhu dengan sisa minuman keledai, beliau saw. menjawab, “Boleh..!”. Demikian pula dengan sisa minuman semua binatang buas. (HR. Syafi’i, Daruquthni, dan Bayhaqi). Hal yang sama berlaku bagi minuman sisa kucing. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kucing itu tidak najis. Ia termasuk binatang yang berkeliling dalam lingkunganmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasa’i).


Adapun sisa minuman Anjing, maka hal tersebut adalah najis yang harus dijauhi. Dari Abu Hurayrah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Bila anjing minum pada bejana salah seorang di antara kamu, hendaklah tempat bekas minumnya dicuci sebanyak tujuh kali.” (HR. Bukhari – Muslim).
Dalam riwayat Ahmad ditambah, “dan cucian yang pertama mestilah dengan tanah.” Begitu pun dengan Babi, air sisa minumnya adalah najis karena kotor, menjijikan, dan berdasarkan nash-nash al-Quran yang sudah jelas.


DEBU


Dari Jabir ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku: Aku diberi kemenangan dari perjalanan sebulan, dan dijadikan bumi itu sebagai tempat shalat dan penyuci; …” (Muttafaq ‘Alayh). Diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzayfah, “…dan dijadikan tanah itu penyuci bagi kita apabila kita tidak mendapatkan air”. Diriwayatkan oleh Ahmad dari ‘Ali ibn Abi Thalib, “…dan dijadikan tanah bagiku sebagai penyuci”. Tanah atau debu merupakan alat penyuci selain air. Saat air tidak ditemukan, maka debu bisa digunakan. Proses penyucian hadats dengan menggunakan debu disebut tayammum.


Tayammum berlaku untuk membersihkan hadats kecil atau besar dan hanya digunakan untuk melaksanakan ibadah saja. Artinya, setelah ibadah tersebut selesai dilaksanakan, maka secara hakiki hadatsnya belum dibersihkan sepenuhnya hingga ditemukannya air. Jika air belum ditemukan hingga akan melaksanakan ibadah lagi, maka tayammum kembali dilakukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan ibadah tersebut.


Walaupun demikian, sebagian ‘ulama berpendapat bahwa penyucian hadats dengan debu sama derajatnya dengan penyucian hadats yang menggunakan air. Artinya, hadats tersebut secara hakiki benar-benar telah bersih sehingga dapat beribadah tanpa harus mengulang tayammum untuk setiap ibadah. Golongan ini berbeda pendapat saat telah menemukan air. Pendapat pertama mengemukakan bahwa seseorang yang telah bertayammum harus mengulang penyuciannya dengan air saat telah menemukan air, sedangkan pendapat kedua tidak apa untuk tidak mengulangnya, karena dirinya telah suci, kecuali jika dirinya kembali berhadats, maka harus menggunakan air. Wallahu a’lam.


Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa debu pun bisa membersihkan najis. Bahkan untuk menghilangkan najis yang berat, sesuatu harus dicuci tujuh kali dengan satu kali penyucian menggunakan debu. Rasulullah saw. bersabda, “Bersihnya bejana seorang di antara kalian yang airnya telah dijilat anjing adalah setelah ia dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan tanah.” (HR. Muslim).


Dalam riwayat yang lain, dari Ibn ‘Umar, beliau berkata : “Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah), Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Ummu Salamah bertanya : “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?”, Rasulullah menjawab: “Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga sejengkal”. “Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas Ummu Salamah. Rasulullah saw. berkata (lagi): “Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut”. Ummu Salamah berkata lagi: “Bagaimana jika terkena najis?” Rasulullah saw. menjawab: “Sapuan yang kedua adalah penyucinya.” Maksudnya adalah pada saat kain yang menjulur itu mengenai najis yang ada di tanah, maka sesungguhnya najis itu telah dibersihkan oleh debu-debu yang juga menyapu kain tersebut.


Kita lihat bagaimana Rasulullah saw. memberikan rukhshah bagi para wanita untuk mengenakan pakaian hingga satu hasta di bawah mata kaki, karena memang demikianlah yang diperintahkan oleh Allah swt., yaitu menutup aurat dengan sempurna. Sedangkan lebih dari satu hasta merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan dan tidak ada faedahnya sama sekali.


Sama halnya dengan orang lelaki, tidak ada faedahnya untuk menjulurkan pakaiannya hingga menyentuh tanah. Walaupun sapuan kedua merupakan penyucinya, namun hal ini tidak berlaku bagi orang lelaki. Sabda Rasulullah saw., “Dan janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun. Engkau berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis juga merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu hingga tengah betis. Jika engkau enggan maka hingga kedua mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan”. (HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubra (X/236) no 20882, dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani)

0 Comment(s)


© Copyright http://ernamadina267.blogspot.com ™ 2012.